Sabtu, 31 Juli 2010




PANTAI KUTA DI PULAU LOMBOK

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Udara terasa panas ketika kami melintas dengan kendaraan dari Mataram menuju Kuta – nama sebuah pantai indah di Pulau Lombok. LombokBangka 164Jarak antara Mataram-Kuta sekitar 70 km, namun kami tempuh dalam waktu lebih kurang satu setengah jam. Kami sengaja mengendarai mobil agak lamban, mengingat lebar jalan yang relatif kecil dan berliku. Sepanjang jalan, saya dapat menyaksikan suasana kehidupan masyarakat desa. Saya senang memperhatikan arsitektur tradisional rumah suku Sasak yang terasa menyatu dengan alam. Rumah-rumah itu terletak di antara rerimbunan dahan-dahan pepohonan, berjajar-jajar sehingga membentuk keindahan tersendiri. Bukan sekali ini saja saya datang ke Lombok. Namun sebelumnya saya hanya datang ke kota. Kali ini saya masuk jauh ke pedalaman, keluar masuk kampung-kampung, dan akhirnya pergi ke Kuta.

LombokBangka 177Dalam pengamatan saya yang sering pergi ke pantai, Pantai Kuta di Lombok jauh lebih menawan dibandingkan Pantai Kuta di Bali. Kedua pantai ini memiliki nama yang sama, namun kondisinya jauh berbeda. Pantai Kuta di Bali terletak sangat dekat dengan kota. Kawasannya sudah dibangun dan dikunjungi banyak turis, dari dalam maupun dari luar negeri. Pantai Kuta di Lombok masih tergolong sepi. Penduduk sekitar masih diliputi suasana kehidupan perdesaan, dengan bangunan-bangunan relatif sederhana. LombokBangka 154Hanya Hotel Novotel yang tergolong mewah di pantai itu. Hotel ini dibangun dengan gaya tradisional Sasak dalam bentuk rumah kampung terbuat dari kayu beratap ijuk dan daun ilalang. Pemandangan dari hotel yang menghadap ke laut nampak sangat indah. Alam masih asri, belum banyak sentuhan tangan manusia.

Ada sejumlah wisatawan asing, dari Eropa, Jepang dan Korea yang sengaja datang untuk menyepi dan menikmati keindahan Pantai Kuta. Kedatangan para wisatawan dalam dan luar negeri itu sedikit banyaknya membantu perekonomian masyarakat di kampung itu. Banyak warung berdiri di tepi pantai menjual keperluan sehari-hari serta makanan dan minuman khas Lombok. Saya ikut minum kopi dan makan nasi di sebuah warung sederhana namun menyenangkan. Meski sudah lama tinggal dikota, selera makan saya tetap saja selera orang kampung. Menikmati ikan bakar dengan sambal dan lalap-lalapan di pinggir pantai, sungguh terasa enak tiada terkira. Kalau LombokBangka 118LombokBangka 153tak ada wisatawan berkunjung, mungkin warung-warung itu akan mati. Maka biarkanlah segalanya berjalan sebagaimana adanya. Wisatawan boleh datang dan pergi, namun suasana kampung haruslah tetap terpelihara. Suasana kampung yang bersahaja itulah yang membuat segalanya menjadi menarik. Kampung tak perlu diubah menjadi kota. Namun kesejahteraan hidup orang di kampung tentu harus ditingkatkan. Dengan hidup sejahtera itu, orang tidak akan merusak lingkungan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Keluar masuk kampung yang tak saya kenal adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Saya selalu heran, karena begitu saya masuk kampung – di mana saja di seluruh tanah air – orang-orang di LombokBangka 115kampung itu dengan mudah menyapa saya dan mengenal saya dengan baik. Mereka mengatakan sering melihat wajah saya di televisi dan berbagai media cetak, sehingga telah begitu akrab. Di kampung-kampung itu, saya sering diajak mampir ke rumah seseorang yang sebelumnya tak saya kenal. Mereka menyuguhi saya minuman sambil bercakap-cakap dengan orang kampung yang segera saja datang berkerumun. LombokBangka 107Dari pengamatan dan mendengarkan cerita orang di kampung itu, saya mengerti suasana hati rakyat. Apa keluhan mereka dan apa harapan mereka. Saya selalu menyimaknya dengan penuh kesungguhan, walau kadang kami tertawa-tawa sambil bercanda. Memang, berjalan kaki menyusuri kampung-kampung memberi inspirasi yang sangat berharga untuk saya renungkan. Saya pun senang memotret suasana kehidupan di kampung. Semuanya saya simpan dalam album untuk menjadi kenangan sepanjang hayat.

Orang kampung di sekitar Pantai Kuta di Lombok hidup dari bertani, berternak, menangkap ikan dan menenun. Kebanyakan mereka menanam padi dan palawija di sawah dan ladang. Mereka banyak LombokBangka 147memelihara sapi, kerbau dan kuda. Sebagian mereka melaut menangkap ikan menggunakan perahu nelayan tradisional. Kegiatan menenum dilakukan kaum wanita, menggunakan alat tenun tradisional.Kegiatan menenun itu dilakukan hampir setiap rumah. Ada toko bahan tenunan di pinggir jalan untuk memasarkan hasil tenunan itu, terutama kepada mereka yang berkunjung. Ada pula anak-anak dan perempuan dewasa yang LombokBangka 146menjunjung hasil tenunan dan menjajakannya kepada wisatawan yang datang ke Pantai Kuta. Kain tenunan yang nampak bagus itu dijual dengan harga yang murah. Mereka bahkan menawarkan kain sarung untuk laki-laki dengan harga Rp. 20 ribu sehelai. Kain songket relatif agak tinggi harganya. Mulai Rp.600 ribu sampai Rp 1 juta. Namun menenun songket sebagus itu, kadangkala memakan waktu satu bulan lamanya.

Menyimak harga-harga kain tenun yang dipasarkan, saya dapat membayangkan betapa sulitnya mencari uang bagi masyarakat perdesaan. Namun rezeki tentu datang dari mana saja, kalau orang rajin berbuat dan berusaha. Rumah-rumah nampak sederhana,LombokBangka 136 sebagai cerminan kesedrhanaan kehidupan sosial ekonomi penduduk kampung itu. Mereka hanya membeli sesuatu yang tidak dapat mereka buat sendiri, atau tak dapat diambil dari alam di sekitar mereka tinggal. Ongkos transportasi juga sedikit, karena agak jarang-jarang orang kampung bepergian. Hiburan juga ala kadarnya. Hidup tanpa banyak keinginan dan tuntutan, kadang-kadang menyenangkan juga. Kebahagiaan dan kesenangan hidup, tidak selalu dapat diukur dengan materi dan gemerlap kehidupan perkotaan. Hidup sederhana di kampung, jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan hidup di kota, namun diliputi kemiskinan.

Ketika waktu sembahyang Jum’at tiba, saya menghampiri sebuah mesjid di tepi jalan. Saya membaur dengan orang-orang kampung dengan bersahaja. Namun, tetap saja jemaah mesjid itu mengenal saya. Mereka ingin bersalaman dan menanyakan bagaimana LombokBangka 097ceritanya saya sampai ke kampung itu. Saya mengatakan, saya ingin berjalan-jalan dan memarkir kendaraan agak jauh, agar saya dapat berjalan kaki. Istri saya juga ikut dan dia menggunakan payung karena tak begitu tahan ditimpa teriknya sinar matahari. Orang Sasak beragama Islam. Mereka pada umumnya sangat kuat memegang ajaran agama. Saya bertanya kepada mereka tentang ajaran Islam Telu – sinkretismeLombokBangka 114 antara Islam dan Hindu – di kalangan warga Sasak. Mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua penduduk kampung itu menganut Islam Limo, artinya mereka mengerjakan sembahyang lima kali sehari semalam, bukan tiga kali seperti Islam Telu. Islam Telu sudah hampir punah, walau masih ada sedikit pengikutnya di gunung-gunung.

LombokBangka 110Mengamati kehidupan masyarakat kampung di Lombok makin membuat saya mengerti akan dinamika sosial. Tidak ada sesuatu yang statis. Kehidupan akan terus berubah. Masalahnya hanyalah apakah perubahan itu datang dengan cepat atau lambat. Dalam kasus Islam Telu misalnya, proses purifikasi pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam, cepat atau lambat akan datang juga. Demikian pula aspek-aspek yang lain dalam kehidupan sosial. Arsitektur mesjid di Lombok juga kian berubah, makin dipengaruhi oleg gaya bangunan Mughul dan Timur Tengah. Mesjid-mesjid lama masih menampakkan unsur tradisional Lombok, bahkan pengaruh arsitektur Hindu Jawa dan BaliLombokBangka 209 masih terasa. Secara subyektif, saya sebenarnya lebih menyukai arsitektur mesjid bergaya lokal, dengan tetap memenuhi ketentuan persyaratan sebuah masjid, terutama arah kiblat yang pas menunju Mekkah al-Mukarramah. Saya sering berkelana di negeri Tiongkok untuk menyaksikan mesjid-mesjid bergaya Kelenteng dengan perasaan takjub. Menjadi Muslim tidaklah harus menjadi seperti orang Arab. Islam menghargai dan menghormati ciri khas budaya suatu bangsa. Sering orang salah paham dengan hal ini.

LombokBangka 013Ketaatan orang sasak kepada agama Islam memang menakjubkan saya. Saya hampir tak percaya, ketika kawan-kawan di Lombok mengajak saya datang ke sana untuk menyampaikan ceramah dan pidato menyambut Tahun Baru Islam, 1 Muharram. Mereka bilang, kalau anda datang, maka pertemuan itu akan dihadiri tak kurang lima puluh ribu orang. Ternyata, yang hadir mendekati angka tujuh puluh ribu orang. LombokBangka 033Sayapun heran, jemaah sebanyak itu dengan tenang mendengarkan pesan-pesan yang saya sampaikan. Mereka menyimak kata demi kata yang saya ucapkan dengan penuh perhatian. Pengaruh ajaran agama terasa begitu dalam bagi kehidupan masyarakat Lombok. Seharusnyalah ketaatan kepada ajaran Islam itu mendorong masyarakat ke arah kemajuan.

Beberapa hari di Lombok, membawa kesan yang dalam ke lubuk hati sanubari saya. Saya merasa memiliki sebuah tanggungjawab sosial dan politik, untuk ikut membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna. Maju secara sosial dan ekonomi, namun tetap berlandaskan kepada nilai-nilai Islam dan ciri khas budaya bangsa kita sendiri. Keadaan sosial ekonomi dan budaya di Lombok, sebenarnya hampir sama saja dengan daerah-daerah lain di seluruh tanah air. Masyarakat ingin sekali maju dan berkembang. Tugas para pemimpinlah untuk membawa mereka ke arah kemajuan itu…

Wallahu ‘alam bissawwab.

PULAU LOMBOK

Sejarah

Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Asal muasal Setidak-tidaknya ada tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang (Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, 2002).

Pertama,

disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu "Kerajaan Desa Lae" yang diperkirakan berkodudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun Sekarang.
Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang.Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.

Kedua,

disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.

Ketiga,

disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.

Bahasa

nampi Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara.
Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.

Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya.

Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur).

Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin). Pariwisata Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya krismon dan krisis-krisis lainnya, potensi pariwisata agak terlantarkan.

Lalu pada awal tahun 2000 terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka terutama mengungsi ke pulau Bali.